Ilmu Faraid itu Lengkap Lugas Tuntas

Subhanallah, Maha Benar Allah dengan segala firmanNya. Kewarisan menurut syariat Islam “hanya” diatur dalam 3 ayat. Jika ditambahkan ketentuan tentang “reward and punishment” melaksanakan atau tidak melaksanakan sistem hukum waris Islam, maka kewarisan menurut syariat Islam hanya diatur dalam 5 ayat saja.

Meskipun singkat, sistem hukum waris Islam sangat lengkap, lugas dan tuntas. Hal-hal pokok yang mencakup syarat, rukun, dan sebab kewarisan hanya” diatur dalam 3 ayat dari Surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176. Khusus untuk penghalang atau penggugur kewarisan, penjelasan ditemukan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga ayat tersebut juga menjelaskan secara lengkap dan gamblang tentang kedudukan ahli waris, bagian dari setiap ahli waris, dan kondisi bagian dari setiap ahli waris.

Siapa saja dari keluarga besar dari pewaris (mayit atau orang yang meninggal) yang berhak masuk dalam daftar nominasi ahli waris juga diatur dalam ketiga ayat tersebut. Siapa di antara ahli waris yang paling kuat kedudukannya untuk mendapatkan harta waris dan siapa yang harus sabar masuk dalam “waiting list” juga sudah gamblang. Setiap ahli waris tidak perlu menjadi orang pintar untuk mengetahui apakah dirinya dapat atau tidak dapat bagian dari harta waris.



BAGIAN WARIS

Lalu, bagaimana dengan penetapan dan penghitungan bagian setiap ahli waris? “Njelimetkah”? “Matematika waris Islam” ternyata sangat sederhana dan hanya melibatkan 6 bilangan yang menjelaskan tentang bagian-bagian yang pasti (furudh muqoddaroh), yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6. Untuk menetapkan dan menghitung hak yang menjadi bagian dari ahli waris sama sekali tak diperlukan kalkulator scientific maupun software khusus. Sudah sejak 1400 tahun yang lalu umat Islam mempraktekkan perhitungan bagian ahli waris hanya mengandalkan matematika yang diajarkan di sekolah dasar.

Coba bandingkan dengan sistem hukum waris yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari segi jumlah pasal dan ayat, sudah pasti sistem hukum waris dalam KUH Perdata lebih banyak dibandingkan dengan sistem hukum waris yang diatur dalam Al-Qur’an. Meskipun lebih banyak dalam hal pasal dan ayat, sistem hukum waris dalam KUH Perdata tidak dapat diterapkan untuk semua umat manusia dengan sistem keluarga, sistem sosial, dan peradaban yang berbeda. Sebaliknya, meskipun sangat singkat, sistem hukum waris Islam berlaku mutlak untuk semua orang Islam meskipun hidup dengan sistem keluarga, sistem sosial, dan peradaban yang berbeda di zaman yang berbeda pula.

Ironisnya, meskipun Allah SWT telah memberikan wasiat tentang menyelesaikan masalah kewarisan, kondisi saat ini ilmu kewarisan Islam (faraidh) adalah minim kajian, sepi peminat, terpinggirkan, dan desakralisasi. “Nasib” ilmu kewarisan Islam sudah bisa dibaca oleh Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana dalam hadits sebagai berikut :

“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh serta ajarkanlah kepada orang-orang, karena aku adalah orang yang akan direnggut (wafat), sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akan tampak, sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan, mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup meleraikan (menyelesaikan perselisihan pembagian hak waris) mereka” (HR. al-Nasa’i, Hakim dan Baihaqi).

Jika hukuman bagi orang Islam yang tidak melaksanakan penyelesaian harta waris menurut ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT adalah neraka dan kekal di dalamnya, mengapa ada penolakan sebagian orang Islam terhadap sistem hukum waris Islam? Saya tidak berminat untuk berandai-andai memberikan jawaban. Satu hal yang pasti, setiap orang yang shalat mengucapkan ikrar bahwa “sesungguhnya, shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya milik Allah Tuhan sekalian alam.” Juga dalam shalat manusia memohon diberikan pentujuk “tunjukilah kami jalan yang lurus …..”. Dalam konteks penyelesaian harta waris, petunjuk dan jalan yang lurus yang diminta sudah diberikan.

0 komentar:

Mengenal Ilmu Faraid

Dalam faraidh Islam, seseorang dapat menjadi ahli waris dari orang lain dikarenakan adanya salah satu dari tiga sebab, yaitu hubungan kekerabatan (hubungan nasab, hubungan darah), hubungan perkawinan, dan hubungan wala'. Hubungan wala' adalah hubungan kewarisan karena seseorang pernah membebaskan orang lain dari perbudakan (kemudian yang dibebaskan itu meninggal) sehingga yang membebaskan itu berhak mewarisi.

Mewarisi dapat terjadi jika dipenuhi tiga rukun. Pertama adalah adanya pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia. Kedua adalah adanya ahli waris, yaitu orang yang berhak untuk menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya salah satu sebab mewarisi seperti disebutkan di atas. Dan ketiga adalah adanya harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

Sementara itu, syarat terjadinya kewarisan ada tiga. Yang pertama adalah matinya pewaris, baik mati haqiqy (sejati, sebenarnya, secara de facto), mati hukmy (menurut putusan hakim, secara de jure), atau mati taqdiry (menurut dugaan). Syarat kedua adalah hidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris. Dan ketiga adalah tidak adanya penghalang dari mewarisi.

Adapun penghalang dari mewarisi adalah karena perbudakan (budak tidak memiliki hak mewarisi dari tuannya), karena pembunuhan (orang yang membunuh pewaris tidak berhak mewarisi hartanya), dan karena perbedaan agama (orang yang berbeda agama tidak bisa saling mewarisi).

Berdasarkan pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, dalam menerima harta warisan, para ahli waris memiliki prioritas penerimaan warisan menurut susunan berikut:
1. Ashhabul-Furudh (Nasabiyah dan Sababiyah);
2. ‘Ashabah Nasabiyah;
3. Radd kepada Ashhabul-Furudh;
4. Dzawil-Arham;
5. Radd kepada salah seorang suami-isteri;
6. Ashabah Sababiyah (Maulal-‘ataqah);
7. ‘Ashabah laki-laki dari Maulal-‘ataqah;
8. Orang yang didakukan nasabnya kepada orang lain;
9. Orang yang menerima wasiat melebihi 1/3 harta peninggalan; dan
10. Baitul Maal.

Dalam praktek pembagian warisan, ahli waris yang dijumpai umumnya hanya terdiri dari golongan ashhabul-furudh dan 'ashabah. Dengan ditambah dengan pengetahuan prinsip hijab yang ada dalam faraidh Islam, maka penyelesaian masalah pembagian harta warisan akan menjadi mudah, cukup dengan menggunakan hitungan pecahan sederhana. Untuk itu pada tulisan ini pembahasan hanya sampai pada ahli waris ashhabul-furudh, 'ashabah dan prinsip hijab. Pembahasan lainnya, insyaallah, akan diberikan pada tulisan selanjutnya.

ASHHABUL FURUDH

Ashhabul-furudh adalah semua ahli waris yang mendapat bagian (fardh) tertentu seperti tertulis dalam Al-Qur'an, Surat An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176, yaitu 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 2/3 (dua pertiga), 1/3 (sepertiga), dan 1/6 (seperenam). Karena keterbatasan ruang, terjemahan ketiga ayat ini tidak dimuat di sini. Kepada pembaca, dipersilakan membuka Al-Qur'an. Ditinjau dari jenis kelamin, ahli waris ashhabul-furudh yang perempuan terdiri dari isteri, anak perempuan, cucu perempuan (dari keturunan anak laki-laki), saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu, ibu, dan nenek (dari pihak ibu maupun dari pihak bapak). Sementara yang laki-laki terdiri dari suami, bapak, kakek (bapak dari bapak), dan saudara laki-laki seibu. Semua ashhabul-furudh yang disebutkan ini adalah ashhabul-furudh nasabiyah (karena hubungan nasab), kecuali suami dan isteri yang termasuk ashabul-furudh sababiyah (karena hubungan perkawinan). Dari rincian ini ternyata kebanyakan ahli waris yang mendapat bagian yang sudah jelas menurut Al-Qur'an adalah perempuan. 


Ditinjau dari bagian (fardh) yang akan diperoleh, maka ashhabul-furudh yang menerima bagian setengah ada lima orang, yaitu
1. seorang anak perempuan (jika tidak bersama-sama dengan anak laki-laki),
2. seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki (jika tidak ada cucu perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki),
3. suami (jika tidak ada anak),
4. seorang saudara perempuan kandung (jika tidak ada saudara laki-laki kandung), dan
5. seorang saudara perempuan sebapak (jika tidak ada saudara laki-laki sebapak).

Bagian seperempat adalah untuk dua macam ahli waris, yaitu
1. suami (jika ada anak) dan
2. isteri (jika tidak ada anak).

Sementara itu, fardh seperdelapan hanya diperuntukkan bagi seorang ahli waris, yaitu isteri jika memiliki anak.

Adapun ahli waris yang mendapat dua pertiga ada empat macam, yaitu
1. dua orang anak perempuan atau lebih (jika tidak ada anak laki-laki),
2. dua orang cucu perempuan atau lebih (jika tidak ada cucu laki-laki atau anak perempuan),
3. dua orang saudara perempuan kandung atau lebih (jika tidak ada saudara laki-laki kandung), dan
4. dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih (jika tidak ada saudara laki-laki sebapak, anak perempuan, cucu perempuan, dan saudara perempuan kandung).

Bagian sepertiga dimiliki oleh dua macam ahli waris, yaitu
1. ibu (jika tidak ada anak, atau tidak ada dua orang saudara atau lebih, baik kandung, sebapak, maupun seibu) dan
2. dua orang atau lebih saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan.

Terakhir, bagian seperenam menjadi hak dari tujuh macam ahli waris, yaitu
1. bapak (jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki),
2. ibu (jika ada anak, atau ada dua saudara atau lebih),
3. kakek (jika ada anak laki-laki, dan tidak ada bapak),
4. nenek (jika tidak ada ibu),
5. saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu (jika seorang diri dan tidak ada anak, bapak, dan kakek),
6. cucu perempuan (jika bersama seorang anak perempuan), dan
7. saudara perempuan sebapak (jika bersama dengan saudara perempuan kandung).

'ASHABAH NASABIYAH

Kelompok ahli waris kedua adalah 'ashabah nasabiyah. 'Ashabah nasabiyah adalah ahli waris yang memiliki hubungan nasab yang tidak mendapat bagian yang tertentu jumlahnya, tetapi mendapatkan sisa ('ushubah) dari ashhabul-furudh atau seluruh harta jika ternyata tidak ada ashhabul-furudh sama sekali. Apabila sudah tidak ada sisa sedikit pun, maka mereka ('ashabah) tidak mendapatkan apa-apa. 'Ashabah nasabiyah dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu ashabah bin-nafsi, ashabah bil-ghair, dan ashabah ma'al-ghair.

'Ashabah bin-nafsi adalah kerabat laki-laki yang dihubungkan dengan pewaris tanpa diselingi oleh orang perempuan. 'Ashabah jenis ini menerima harta warisan menurut prioritas empat jurusan sebagai berikut:
1. jurusan anak (bunuwwah, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya ke bawah), kemudian
2. jurusan bapak (ubuwwah, yaitu bapak, kakek, dan seterusnya ke atas), kemudian
3. jurusan saudara (ukhuwwah, yaitu saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau keponakan kandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak atau kepnakan sebapak, dan seterusnya ke bawah), dan terakhir
4. jurusan paman ('umumah, yaitu paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki dari paman kandung atau sepupu laki-laki kandung, anak laki-laki dari paman sebapak atau sepupu laki-laki sebapak, dan seterusnya ke bawah).

Adapun 'ashabah bil-ghair, mereka adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain (yaitu laki-laki) untuk menjadikan mereka 'ashabah dan untuk bersama-sama menerima 'ushubah. Ashabah bil-ghair terdiri dari empat orang perempuan ashhabul-furudh yang bagian mereka 1/2 jika seorang diri dan 2/3 jika lebih dari seorang. Mereka itu adalah anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak. Keempat orang ini menjadi 'ashabah jika bersama-sama dengan saudara laki-lakinya masing-masing yang sederajat, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki, saudara laki-laki kandung, dan saudara laki-laki sebapak. Orang yang menjadikan keempat perempuan ini 'ashabah bil-ghair disebut mu'ashshib. Setiap pasangan ini, misalnya anak laki-laki dengan anak perempuan, mendapatkan sisa harta setelah ashhabul-furudh dengan perbandingan bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.

Sementara itu, 'ashabah ma'al-ghair adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain (juga perempuan) untuk menjadikannya 'ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima 'ushubah (sisa). Mu'ashshib (orang yang menjadikan 'ashabah) tetap menerima bagian menurut fardh-nya sendiri. 'Ashabah ma'al-ghair hanya terdiri dari dua orang perempuan dari ahli waris ashhabul-furudh, yaitu saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak. Kedua orang ini menjadi 'ashabah ma'al-ghair jika bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan, tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, dan tidak ada saudara laki-lakinya, sebab kalau ada saudara laki-lakinya, mereka menjadi 'ashabah bil-ghair.

PRINSIP HIJAB

Faraidh Islam mengenal adanya hijab. Hijab adalah keadaan terhalangnya seorang ahli waris untuk mendapatkan bagian dikarenakan adanya ahli waris lain, sehingga ia kehilangan bagian sama sekali (disebut hijab hirman), atau bagiannya menjadi berkurang (disebut hijab nuqshan). Orang yang keberadaannya menyebabkan terhalangnya orang lain mendapatkan bagian disebut hajib, sedangkan orang yang terhalang tersebut dinamakan mahjub.

Adapun ahli waris yang tidak pernah mahjub berjumlah enam orang, yaitu anak laki-laki, bapak, suami, anak perempuan, ibu, dan isteri. Artinya, keenam orang ini tidak pernah terhalang oleh orang lain dalam menerima warisan. Ahli waris selain keenam orang ini ada dua kemungkinan, dalam satu keadaan dapat menerima bagian, tetapi dalam keadaan lain bisa menjadi mahjub.
Ahli waris laki-laki yang dapat menjadi mahjub adalah sebagai berikut:
1. kakek terhalang oleh bapak; saudara laki-laki kandung terhalang oleh bapak, anak laki-laki, dan cucu laki-laki;
2. saudara laki-laki sebapak terhalang oleh saudara laki-laki kandung, penghalang saudara laki-laki kandung, dan saudara perempuan kandung yang menjadi 'ashabah ma'al-ghair;
3. saudara laki-laki seibu terhalang oleh bapak, kakek, dan anak;
4. cucu laki-laki terhalang oleh anak laki-laki;
5. keponakan laki-laki kandung terhalang oleh saudara laki-laki sebapak dan semua penghalang saudara laki-laki sebapak;
6. keponakan laki-laki sebapak terhalang oleh keponakan laki-laki kandung dan semua penghalang keponakan laki-laki kandung;
7. paman kandung terhalang oleh keponakan laki-laki sebapak dan semua penghalang keponakan laki-laki sebapak;
8. paman sebapak terhalang oleh paman kandung dan semua penghalang paman kandung;
9. sepupu laki-laki kandung terhalang oleh paman sebapak dan semua penghalang paman sebapak;
10. sepupu laki-laki sebapak terhalang oleh sepupu laki-laki kandung dan semua penghalang sepupu laki-laki kandung.

Sementara itu, ahli waris perempuan yang dapat menjadi mahjub adalah sebagai berikut:
1. nenek terhalang oleh ibu;
2. cucu perempuan terhalang oleh anak laki-laki, dan dua orang atau lebih anak perempuan;
3. saudara perempuan kandung terhalang oleh bapak, anak laki-laki, dan cucu laki-laki;
4. saudara perempuan sebapak terhalang oleh saudara laki-laki kandung, saudara perempuan kandung yang menjadi 'ashabah ma'al-ghair, dua saudara perempuan kandung atau lebih, dan semua penghalang saudara perempuan kandung;
5. saudara perempuan seibu terhalang oleh bapak, kakek, dan anak.

CONTOH KASUS

Untuk memberikan gambaran penyelesaian masalah, diberikan beberapa contoh kasus pembagian warisan yang hanya melibatkan ahli waris dari kedua golongan ini.

Contoh pertama, seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan isteri, empat anak perempuan, tiga anak laki-laki, dan seorang saudara perempuan kandung. Maka
(a) isteri mendapat 1/8 (karena ada anak),
(b) saudara perempuan kandung terhalang oleh anak laki-laki,
(c) anak laki-laki dan perempuan berbagi sisa (yaitu 7/8 setelah diambil isteri) dengan perbandingan 2:1. Jadi, tiga anak laki-laki mendapat (3 x 2)/((3 x 2) + 4) x 7/8, yaitu 6/10 x 7/8 = 42/80, dan ini dibagi tiga sama rata. Sementara empat anak perempuan memperoleh 4/10 x 7/8 = 28/80, dan ini dibagi empat sama rata.

Contoh kedua, seorang perempuan wafat dengan meninggalkan suami, ibu, seorang anak perempuan, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka
(a) suami mendapat 1/4 (karena ada anak),
(b) ibu mendapat 1/6 (karena ada anak),
(c) anak perempuan mendapat 1/2 (karena seorang diri), dan
(d) sisanya, yaitu 1/12, menjadi bagian saudara laki-laki sebagai 'ashabah.

Terima kasih ilmunya untuk Ust. Yani ^_^

0 komentar: